Selasa, 01 November 2011

Sintaksis

Dalam berbahasa untuk berkomunikasi dan menyampaikan suatu pikiran, orang biasanya tidak hanya akan menggunakan satu kata saja. Kata demi kata perlu dirangkai menjadi sebuah satuan kebahasaan yang lebih besar sehingga kesatuan pikiran dapat terbentuk. Orang juga tidak akan sembarang merangkai kata demi kata. Rangkaian kata demi kata tersebut memiliki pola dan struktur yang jelas. Dalam linguistik cabang yang mempelajari hubungan kata demi kata sehingga berpola menjadi satuan kebahasaan yang lebih besar adalah sintaksis.
Satuan kebahasaan pokok yang dikaji sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat. Sintaksis mengkaji unsur-unsur pembentuk satuan-satuan kebahasaan tersebut dan hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Ada dua jenis hubungan yaitu hubungan fungsional dan hubungan makna.
Untuk lebih jelasnya perhatikan kalimat berikut.
Contoh berupa frasa
·         sedang menanam
Frasa sedang menanam terdiri dari dua unsur, yaitu kata sedang dan kata menanam. Sintaksis bertugas menjelaskan hubungan fungsional dan hubungan makna antara kedua unsur tersebut. Kata sedang termasuk dalam kata keterangan (T) dan kata menanam termasuk dalam kata kerja (V). Jadi, frasa sedang menanam terdiri dari V yang didahului oleh T. Secara fungsional kata menanam yang merupakan V itu disebut unsur pokok (UP) karena diterangkan oleh kata sedang. Sementara itu, kata sedang yang merupakan T disebut atribut (Atr) karena kata sedang menerangkan kata menanam. Setelah UP diketahui, dapat diketahui bahwa informasi utama dalam frasa sedang menanam adalah kata menanam sedangkan informasi tambahan yang memberi keterangan adalah kata sedang.

Dilihat dari hubungan makna, kata menanam menyatakan makna ‘tindakan’ sedangkan kata sedang menyatakan makna ‘aspek waktu’. Setelah hubungan maknanya diketahui, frasa sedang menanam dapat dimengerti sebagai sebuah informasi bahwa ada sebuah tindakan menanam yang terjadi ketika frasa itu diucapkan.

Contoh berupa klausa
·         petani sedang menanam padi di ladang
Klausa di atas memiliki beberapa unsur informasi. Ada informasi pokok dan ada pula informasi tambahan. Informasi pokok dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan “Ada apa?” dan “Siapa?”. Dari klausa di atas akan didapati jawaban “Ada yang sedang menanam” dan “petani”. Bagian klausa yang menjawab “Ada apa?” disebut fungsi predikat (P) dan bagian klausa yang menjawab “Siapa?” disebut fungsi subjek (S).
Informasi tambahan adalah unsur-unsur yang menerangkan informasi pokok. Kata padi menerangkan frasa sedang menanam. Bagian ini disebut fungsi objek (O). Frasa di ladang juga memberikan informasi tambahan tempat terjadinya peritiwa terjadi. Bagian ini disebut fungsi keterangan (KET).
Jadi, klausa di atas terdiri dari unsur-unsur berupa kata petani sebagai fungsi S, frasa sedang menanam sebagai fungsi P, kata padi sebagai fungsi O, dan frasa di ladang sebagai fungsi KET.
Hubungan fungsional akan lebih jelas setelah hubungan makna dikaji. Kata petani yang menduduki fungsi S menyatakan makna ‘pelaku’ karena melakukan suatu tindakan yang tertuang dalam fungsi P, sedang menanam. Kata padi yang menduduki fungsi O memiliki makna ‘penderita’ karena menjadi unsur yang menderita akibat tindakan yang telah disebutkan dalam fungsi P yaitu sedang menanam. Sementara itu, frasa di ladang yang berfungsi sebagai fungsi KET menyatakan makna ‘tempat’ karena menunjukkan tempat fungsi S petani melakukan tindakan dalam fungsi P sedang menanam.

            Dengan mempelajari sintaksis, orang diharapkan dapat membuat kalimat sebagai sebuah alat komunikasi untuk menyampaian pikiran dengan jelas dan lengkap. Sebuah kalimat akan disebut jelas jika memiliki informasi pokok yang lengkap yaitu fungsi P dan S. Sekurang-kurangnya orang yang diajak berkomunikasi dapat memahami apa yang menjadi inti pembicaraan.
Tanpa disadari sebenarnya setiap orang sudah bisa membuat kalimat yang minimal memiliki informasi pokok lengkap dalam percakapan lisan sehari-hari. Namun, ketika harus membuat kalimat dalam ragam bahasa tulis, tak semua orang dapat membuat kalimat yang lengkap sehingga bisa terjadi kesalahpahaman dan tak tersampaikannya pesan.
Misalnya, ada kalimat “Yang membawa HP harap dimatikan.” Kalimat tersebut jika dilisankan mungkin mudah dipahami bahwa HP harap dimatikan. Namun, ketika ditulis dan diperhatikan dengan menganalisis hubungan fungsional dan maknanya akan terjadi hal yang menggelikan.
Jika ditanya “Ada apa?”, kalimat di atas akan menjawab “Ada yang harap dimatikan”. Kemudian jika ditanya “Siapa?”, kalimat di atas ternyata memberikan jawaban “Yang membawa HP” dan bukan hanya “HP”. Jika ada orang asing yang baru saja mempelajari bahasa Indonesia dan mendengar kalimat di atas dan kebetulan ia membawa HP, alangkah takutnya dia karena dia harus dimatikan dan bukan HP yang dibawanya.
Oleh karena itu, kalimat di atas perlu diubah menjadi kalimat yang baik menurut konteksnya yaitu HP yang dibawa harap dimatikan, bukan orang yang membawa HP yang malah dimatikan. Salah satu contoh koreksi adalah “Yang membawa HP harap mematikan HPnya” atau “HP yang dibawa harap dimatikan”.
Contoh lain biasanya dilakukan oleh para pembawa acara atau MC. Para MC sering mengatakan, “Kepada Bapak Gubernur harap maju ke panggung.” Jika dianalisis dengan pertanyaan “Siapa?” akan didapat jawaban “Kepada Bapak Gubernur” padahal yang seharusnya cukup “Bapak Gubernur”. Kalimat yang seharusnya diucapkan adalah “Bapak Gubernur harap maju ke panggung.”
Sering terdengar anggapan bahwa tata bahasa bisa ditinggalkan, yang penting inti pesan tersampaikan. Esensi dalam berbahasa memang untuk berkomunikasi dan pihak yang berkomunikasi dapat menyampaikan dan menerima pesan yang dibahas. Namun, jangan sampai orang menafikan tata bahasa sehingga bisa membuat orang yang diajak berkomunikasi harus mengerutkan dahi dan berpikir dua kali untuk memahami inti pembicaraan. Tata bahasa yang benar memang tidak mudah, tetapi dapat meminimalisir kesalahpahaman.

Sumber
Ramlan, M. 1982. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

Pembentukan Kata

Sebuah kata terbentuk melalui sebuah proses pembentukan kata atau proses morfologis. Proses morfologis merupakan proses pengubahan sebuah bentuk satuan gramatikal menjadi sebuah kata yang baru atau dalam linguistik disebut kata jadian.
Ada empat komponen yang terlibat dalam proses morfologis yaitu (1) masukan, (2) proses, (3) keluaran, dan (4) dampak atau akibat. Masukan adalah bahan-bahan pembentukan kata jadian. Bahan-bahan itu disebut bentuk dasar atau satuan gramatikal yang menjadi dasar pembentukan kata jadian. Dalam pengetahuan umum, orang sering menyebut bentuk dasar sebagai kata dasar. Hal ini kurang tepat karena tidak semua bentuk dasar berupa kata.
Proses merupakan cara pembentukan kata baru tersebut. Keluaran merupakan hasil pembentukan kata baru berupa kata jadian. Dampak berkaitan dengan penggunaan kata jadian tersebut dalam satuan kebahasaan yang lebih besar seperti frasa, klausa, dan kalimat. Perhatikan bagan berikut.

Ada tujuh jenis proses morfologis yaitu (1) pengimbuhan, (2) pengulangan, (3) pemajemukan, (4) modifikasi internal, (5) modifikasi kosong, (6) suplesi, dan (7) pemendekan. Pengimbuhan adalah proses melekatkan imbuhan pada bentuk dasar sehingga melahirkan kata jadian berupa kata berimbuhan. Misalnya:
            ter- + cantik → tercantik
            per-an + kampung → perkampungan

Pengulangan merupakan proses mengulang sebagian atau seluruh bentuk dasar menjadi kata ulang. Misalnya:
            bapak → bapak-bapak
            pohon → pepohonan
            berjalan → berjalan-jalan
           
Pemajemukan adalah proses memadukan dua bentuk dasar atau lebih menjadi satu kata jadian bernama kata majemuk. Misalnya:
            rumah + sakit → rumah sakit
            kamar + tidur → kamar tidur
           
Modifikasi internal adalah pembentukan kata dengan mengubah vokal bentuk dasar. Misalnya:
            drink + past → drank
            food + plural → feet

Modifikasi kosong adalah pembentukan kata jadian tanpa mengubah bentuk dasar. Misalnya:
            cut + past → cut
            deer + plural → deer

Suplesi adalah pembentukan kata dengan mengubah total bentuk dasar. Misalnya:
            good + ly → well (bukan goodly)
            mouse + plural → mice (bukan mouses)

Pemendekan adalah proses membentuk kata jadian dengan menanggalkan sebagian dari bentuk dasar.
            Dewan Perwakilan Rakyat → DPR
            tidak → tak
            dan sebagainya → dsb.

Dari ketujuh proses morfologis di atas, hanya ada empat jenis proses yang dikenal dalam bahasa Indonesia yaitu pengimbuhan, pengulangan, pemajemukan, dan pemendekan.
Proses morfologis memiliki tiga dimensi yaitu bentuk, fungsi, dan makna. Bentuk berkaitan dengan apakah proses morfologis itu membuat terjadinya perubahan fonologis atau perubahan bunyi pada unsur-unsur pembentuknya. Misalnya, imbuhan di- yang dilekatkan pada bentuk dasar cium akan membentuk kata jadian dicium. Dalam kata jadian dicium tidak terjadi perubahan fonologis. Hal ini akan lebih jelas jika kata dicium dibandingkan dengan imbuhan me(N)- yang dilekatkan pada bentuk dasar cium menjadi mencium. Salah satu unsur pembentuk yaitu me(N)- mengalami perubahan fonologis menjadi meny-. Proses perubahan semacam ini disebut proses morfofonemis.
Dimensi fungsi dalam proses morfologis berkaitan dengan apakah kelas kata pada bentuk dasar berubah setelah mengalami proses morfologis. Misalnya, bentuk dasar tulis merupakan kata kerja. Setelah dilekati imbuhan me(N)-, bentuk dasar tulis berubah menjadi kata jadian menulis. Kata jadian menulis juga merupakan kata kerja. Oleh karena itu, proses morfologis di atas tidak mengubah kelas kata pada bentuk dasar. Fungsi yang demikian disebut fungsi inflektif.
Sementara itu, apabila bentuk dasar sepatu yang merupakan kata benda dilekati imbuhan ber-, akan dihasilkan kata jadian bersepatu yang merupakan kata kerja. Pada proses morfologis tersebut terjadi perubahan kelas kata pada bentuk dasar ke kata jadian. Fungsi yang demikian disebut fungsi derivatif.
Dimensi terakhir adalah makna. Sebagian besar proses morfologis menghasilkan kata jadian yang memiliki makna gramatikal. Satu-satunya proses morfologis yang menghasilkan kata jadian yang memiliki makna leksikal adalah pemajemukan. Misalnya, bentuk dasar anak yang mengalami proses pengulangan berubah menjadi kata jadian anak-anak yang bermakna ‘banyak anak’. Makna tersebut dikatakan bermakna gramatikal karena masih mempertahankan makna ‘anak’ baik pada bentuk dasar maupun pada kata jadian. Sementara itu, bentuk dasar meja dan hijau yang mengalami proses pemajemukan menjadi meja hijau memiliki makna leksikal baru yaitu ‘pengadilan’. Kata jadian meja hijau yang berarti ‘pengadilan’ tidak dapat dikatakan memiliki makna gramatikal karena makna bentuk dasar meja dan hijau berubah total setelah menjadi meja hijau.

Sumber:
Baryadi, I. Praptomo. 2011. Morfologi dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Sanata Dharma.
Wijana, I Dewa Putu. 2009. Berkenalan Dengan Linguistik. Yogyakarta: Pustaka Araska.


 
Copyright (c) 2010 Media Bahasa Indonesia. Design by WPThemes Expert

Blogger Templates, Free Samples And CNA Certification.